Di dusun tempat si Noor tinggal, mendadak ada kabar duka. Cak Inul meninggal. Tapi warga sana lantas bingung. Emangnya siapa itu Cak Inul? O...

Malang Betul, Tuhan Sayang Betul

Di dusun tempat si Noor tinggal, mendadak ada kabar duka. Cak Inul meninggal. Tapi warga sana lantas bingung. Emangnya siapa itu Cak Inul? Orang kampung heran cak Inul itu siapa, nggak pernah dengar namanya kok tau-tau TOA mushola kampung berkoar tentang kabar meninggalnya.

Rupanya cak Inul dan si Noor punya hubungan. mereka berdua bertalian darah. Cak Inul adalah kakak kandung Si Noor. Satu ibu satu ayah. Ayah mereka suka bepergian. Saking sukanya, dia sampai lupa jalan kembali ke rumah. Sementara ibu mereka sudah meninggalkan mereka saat masih kecil. Mati sesudah dipancal kucing yang jatuh dari plafon jebol.

Cak Inul aslinya masih saudara denganku. Pun juga si Noor. Cak Inul hanya orang kecil. Hanya buruh pabrik. Sudah sangat sering diputus kontrak sepihak oleh manajemen pabrik. Tak ambil pusing, cak Inul cari pabrik lain.  Karirnya tidak ada perbaikan. Tidak pernah diangkat jadi karyawan tetap sehingga gaji pun selalu segitu-gitu saja. Hingga umur 40 pun dia belum juga menemukan tambatan hati dan menikah.

Mandiri dan tidak ingin merepotkan orang lain, itulah cak Inul. Segala masalah hidup nya dia tuntaskan sendiri. Dia simpan rapat-rapat agar tidak banyak orang tahu. Bahkan kalau bisa keluarga jangan sampai tahu. Padahal kalau dia mau, dia tinggal menadahkan tangan pada keluarga kami. Mendapat bantuan dengan cara mudah dan instan. Oleh sebab itu Cak Inul tidak pernah sering sering berkumpul dengan keluarga kami. Meskipun masih ada si Noor di keluarga kami. Cak Inul sengaja menjauh dari kami. Mencoba menuntaskan masalah nya seorang diri.

Hingga pada hari hari terakhir menjelang kemangkatannya, bocor kabar bahwa cak Inul masuk rumah sakit. Diopname. Dokter bilang paru-parunya sudah bolong-bolong. Sudah stadium tiga sakit paru-paru. keluarga kami pun geleng-geleng. Kok bisa sakit gawat itu tahunya barusan saja. Kenapa tidak dari dulu saja cerita. Mungkin lain ceritanya.

Tak lama opname, keadaan cak Inul membaik. Dokter membolehkan cak Inul untuk pulang. Keluarga kami akhirnya meminta agar cak Inul tinggal bersama kami. Berkumpul saja jadi satu lagi. Bersama si Noor dalam satu rumah. Tapi takdir siapa sangka, dapat satu hari pulang dari rumah sakit, cak Inul malah dijemput oleh Nya.

Maka keluargaku pun menangis. Aku pun menangis, menyesal tak ku jenguk cak Inul barang sebentar saja. Dan kini dihadapanku cak Inul sudah rebah bersedekap. Tertutup kain batik penutup mayat. Hanya si Noor saja yang tak menangis. Raut mukanya ya seperti normalnya dia. Datar tanpa ekspresi. Bahkan saat masnya itu mati. Mas yang menemani dia mengarungi hidup sebagai sepasang anak yatim di rimba raya dunia.

Keluarga melontarkan komentar komentar soal cak Inul. Kebanyakan ungkapan kesedihan soal nasib hidup cak Inul. Adik nya ditimpa penyakit jiwa, dari kecil selaku susah, jauh dari orang tua, sekarang juga jauh dari kemapanan.

"kasihan kamu nul, enggak pernah enak hidupmu"

"sakno koe le, dari kecil enggak pernah merasakan hidup enak"

Mendadak si Noor bangkit lalu membantah komentar Orang-orang.

"kata siapa mas ku tidak pernah hidup enak?dari dulu hingga sekarang kami ini hidup dalam kondisi yang sangat enak!"

"menurut kalian apa sebenarnya nya enak itu? Enak yang sejati itu apa? Apa kalau hidup enak di dunia itu sama dengan sukses menurut kalian?" lanjut si Noor.

Lalu dia melirik padaku. Melontarkan pendapat miring nya lagi. Seolah kalimatnya itu dia garis bawahi untukku.

"Yang kamu lihat hanya uangnya, sukses karirnya, pangkat jabatannya, kepemilikan hartanya, istri cantik dan anak-anaknya saja. Kalau tidak mencapai itu lantas  dengan dangkal kamu anggap dia tidak sukses, tidak hidup enak?"

Padahal, ungkap si Noor, cak Inul hidup dalam hidup yang sangat enak. Tuhan melalui tali-tali takdir nya menghindarkan cak Inul dari nikmat duniawi yang parameter mainstream sepakati sebagai kesuksesan. Tuhan berlaku demikian supaya cak Inul selalu ingat dan mesra bersama Sang Kekasih Sejati. Andaikan itu suatu cobaan hidup untuknya, cak Inul pun sudah lulus darinya. Yang Tuhan sudah pasti berikan ya itu yang terbaik untuk diri cak inul. Maka jelaslah, dia ikhlas betul menerima ketidakenakan hidup nya di dunia sementara. Bahkan, mengeluh barang sedikit pun tidak dia tampakkan pada orang lain.

Tuhan membayar semua sikap hidup cak Inul itu dengan kasih yang berlipat-lipat. Dijemputnya cak Inul menjelang terbit sang surya. Tanpa rasa sakit. Tanpa rintihan, karena kala itu dirinya sedang tertidur lelap.

Seolah Tuhan ingin bilang ke kita semua lewat kematian cak Inul. Ini lah hambaku yang Aku sayang. Aku jemput dia tanpa dia perlu merasakan sakit sakaratul maut. Sementara kalian mengidentifikasi sakit sendiri saja tidak bisa. Yang cuma bisa kalian identifikasi hanyalah seberapa banyak uang dan materi. Kalian tidak akan bisa mengidentifikasi apakah dia yang Aku panggil mulia atau tidak di sisi Ku.

0 komentar: