Tidak ada anasir dalam hidup kaspolan yang dia sengaja bangga-banggakan. Entah itu nasab, nasib, profesi, pangkat, capaian, prestasi, a...

Bangga Pada Mereka


Tidak ada anasir dalam hidup kaspolan yang dia sengaja bangga-banggakan. Entah itu nasab, nasib, profesi, pangkat, capaian, prestasi, apalagi harta. Toh ya, semua itu memang tidak pantas sama sekali untuk dia banggakan.
Membanggakan diri itu tidak sopan dalam laku hidup kaspolan. Cukup yang pantas Membanggakan diri hanyalah Dia Yang Maha Terbesar. Yang kaspolan tahu secara mudah-mudahan benar adalah soal bangga kepada. Proud of. Salute of.
Itu pun juga Bukan bangga pada bintang film tenar, para pesohor negeri, tokoh perjuangan, pahlawan besar dalam sejarah, idola kaum remaja, musikus top five, presiden, sampai anggota dewan yang terhormat tapi mayoritas malah tidak terhormat.
Bukan itu semua. Kaspolan malah menaruh bangga Pada orang kecil di negeri ini. Mereka yang entah suka atau tidak suka harus menjalani hidupnya penuh perjuangan. Bahkan dengan tenaga ekstra, Mental baja, Hati pejuang, demi sekedar untuk memastikan hari ini bisa makan apa tidak.
Rasa bangga dilengkapi kagum kaspolan itu fixed jatuh pada kuli angkut pupuk di pelabuhan tradisional. Yang sehabis lelah bekerja mereka istirahat di gubuk kolong dermaga karena uang mereka tak cukup untuk kos. Atau ibu penjual mainan tradisional yang meskipun ia berpanas-panas panggul kesana kemari tetap saja dagangannya tak kunjung laku.
Atau mungkin bapak pedagang asongan di Simpang traffic light yang karena serba kekurangan nya hanya mampu menjual sejumlah sedikit ikat kacang.
Atau masih lebih banyak lagi saudara yang sejenis dengan mereka, bapak buta dituntun rekannya yang jualan kemoceng, bapak pengayuh sepeda yang menjual satu dua buah sapu tak kunjung laku, bapak parobaya yang jualan sekresek kerupuk sambil tertunduk lesu. bocah payung, bocah penyemir sepatu, para pengamen, para kuli bangunan. Atau mungkin para fakir pengemis yang orang dalam hati mulai menuduh mereka lebih kaya dari mereka sampai-sampai kaspolan dengar sambatan mereka. "kalau sudah kaya ngapain terus terusan ngemis cak".
Dunia dimana kaspolan tinggal saat ini cenderung anggap mereka itu orang pinggiran. Malas. Bodoh. Marginal. Terbelakang. Tidak punya daya saing. Tidak punya skill, dan cibiran miring sebagainya. Namun, di mata kaspolan mereka adalah para pembesar sejati, motivator sesungguhnya, pelaku darma kehidupan, wisudawan nilai kebaikan, juara tinju legendaris. Sebab tinju adalah bukan soal menang atau kalah. Mereka adalah petinju sejati, truely fighter.
Mereka yang dalam keterbatasan, penderitaan, yang dikepung segala ketidakamanan masa depan menolak menyerah pada ketidaksucian hidup. Sungguh aku bersumpah mereka lah yang lebih pantas dibanggakan daripada pejabat pemerintah di negara ini.

0 komentar: