Kalaupun datang sepuluh malam terakhir Ramadhan, tiap tahunnya Sobirin tidak sibuk mencari-cari Lailatul Qadar. Tidak melakukan amalan apa-apa. Tidak memperbanyak ngaji Quran. Tidak iktikaf di masjid. Tidak pula menambah jumlah rakaat sholat malam. Tidak juga banyak-banyak sedekah. Toh ya uang yang mau disedekahkan itu darimana? Wong bisa berlebaran tanpa nambah utang saja itu rasanya sudah Alhamdulillah sekali bagi Cak Sobirin yang miskin.
Bagi Sobirin, malam Lailatul Qadar bukan jadi magnet utama peribadatannya selama Ramadhan. Bukan fokus utama. Bukan cita-cita agung. Meskipun begitu, Sobirin sangat memperlakukan Lailatul Qadar begitu spesial di hati, akal dan jiwanya. Terlebih apa yang menjadi inti Lailatul Qadar. Al-Quran.
“Loh kok Al Quran lebih utama dari malam Lailatul Qadar, Rin? Jangan bikin tafsir sendiri kamu itu kan bukan Ulama bukan ustadz. Bukan kiai. Bukan siapa-siapa” Protes Kaspolan.
“Loh siapa yang mau menafsikan Quran itu cak. Wong aku ini cuma kuli kasar. Ora pantes nafsirke dewe” Bantah Sobirin.
Sobirin menyambung, dirinya sekedar memesrai. Bukan menafsir. Gusti Allah sendiri yang berfirman, Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan (lailatil qodri). Sobirin sangat percaya Gustinya adalah Sang Maha Sastra. Jadi tidak mungkin Gustinya itu keliru. Kalau lailatul qadar yang diutamakan pasti ayatnya berbunyi, sesunggunya kami telah menurunkan malam kemulian.
Jadi tidak ada keutamaan lailatul qadar. Yang ada itu keutamaan Al Quran. Begitu ada ayat Allah menyapamu. membersamaimu. menemanimu. Dan kau juga memesrai perhubungan Allah denganmu itu, maka detik itu juga engkau telah mendapatkan lailatur qadar.
Sobirin lanjut bercerita, tidak ada perasaan paling tidak berdaya serta gusar dalam hidupnya, kalau bukan pada saat menunggu kelahiran anak pertama. Sobirin sangat ketakutan. Sendirian. Bukan kepalang khawatirnya Sobirin akan keselamatan Mbak Maryam istrinya dan bayi yang dikandungnya. Sebab, sang buah hati terpaksa harus lahir pada umur 8 bulan. Bayi di dalam perut juga harus hidup dalam keadaan gawat. Tanpa air ketuban sama sekali.
Malam menjelang kelahiran, Sobirin sempatkan baca Al Quran. padahal ya hari-hari biasanya jarang Sobirin baca Al Quran. Dia buka halamannya secara acak. Dia mulai baca. tidak banyak cuma satu dua lembar. Lah kok ndilalah sampai pada ayat Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara maruf.
Sontak sobirin langsung tegak. geleng-geleng kepala. Lalu ujung matanya muncul kilauan. Bibirnya tersungging senyuman sambil kepalanya mendongak ke atas. Gusti betapa baiknya Engkau. menyapa orang yang sendirian dalam ketakutan yang sangat. Seakan Kau bilang, sudah jangan khawatir, kowe ora dewean Rin. Ini aku. Aku menyapamu. Aku di sisimu dan jangan Sedih. Aku akan jaga anakmu. Sebentar lagi kamu dan istrimu bakal jadi ayah dan ibu.
Pun detik-detik saat istrinya masuk ruang operasi kelahiran, Sobirin buka lagi Al Quran secara acak dan membacanya. muncul lagi ketakjubannya. Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau maha pendengar doa. Doa Nabi Zakariya itu selalu Sobirin ucapkan usai solat. Dan tiba-tiba menjelang kelahiran anaknya, secara tak terduga Gusti Allah menakdirkan Sobirin membacanya. Kali ini dia baca langsung dari kitab yang diturunkan pada saat malam lailatul qadar. yang membuat malam itu lebih mulia dari seribu bulan. Seakan Allah bilang ke Sobirin, ini aku kabulkan doamu. Tak lama, bayi kecil menangis keras.Wajah sobirin bercahaya dan enak dipandang.
"Sebentar-sebentar Rin. Tunggu. Itu kan cuma pengalaman over romantikmu. Sementara Kanjeng Nabi berpesan untuk mencari Lailatul Qadar di malam ganjil sepuluh hari terakhir Ramadhan" Kaspolan tak terima.
"Mungkin apa yang aku rasakan ini bisa jadi sangat salah cak. Tapi kalau toh Cak Kaspolan percaya lailatul qadar, kenapa ya tidur pean masih lebih banyak daripada ibadah?"
Gresik, 7 Juni 2018
0 komentar: