Lahir dan besar hingga umur segini di Gresik tercinta tentu membekas memori indah hidup di kota kecil ini. Utamanya ingatan soal alon-alon (...

Alon-alon (Bukan Lagi) Milik Rakyat

Lahir dan besar hingga umur segini di Gresik tercinta tentu membekas memori indah hidup di kota kecil ini. Utamanya ingatan soal alon-alon (sengaja ditulis dengan 'o' bukan 'u') kota Gresik. Banyak teman saya dari luar kota kalau ke Gresik sering bilang, kok alon-alon Gresik begitu? kecil sekali dan semrawut banyak pedagang. Dalam hati kecil, saya cuma mesam-mesem, sebab dulu pada masa kecil saya yang hidup di era 90 an, alon-alon Gresik tidak seperti sekarang. Dan tentunya saya harus siap  dapat komen yang berubah lagi di tahun mendatang soal alon-alon Gresik yang mau dibikin Islamic center yang megah dan membanggakan. Katanya.

Sejak usia SD tiap sore saya ngaji di TPQ Masjid Jamik Gresik yang terletak pas sebelah barat alon-alon. Pagi masuk SD lalu sore pukul 3 saya dan teman-teman masuk TPQ. Biasanya kami sangat gembira kalau pas jam belajar di TPQ selesai lebih awal. Sehingga ada sisa waktu yang bisa saya dan teman-teman ngaji pakai untuk bermain di alon-alon.

Seingat saya Zaman itu, alon-alon tidak seperti sekarang. Masih berupa tanah lapang yang masih luas dengan tugu di tengahnya. Belum dipaving, tidak ada pkl berjualan di dalam nya, belum ada banyak taman, lampu-lampu meriah juga tidak ada, mainan anak juga nihil. Tapi kami begitu senang main di alon-alon. Main bola, kejar kejaran tidak jelas, menerbangkan baling - baling plastik murah yang diputar pakai dua telapak tangan. Bandingkan anak sekarang yang mainnya fidget spinner. Lebih canggih cuma diputar pakai satu jari. (saya sungguh iri masa kecil saya ndak oman mainan begituan)

Kami juga sempat heboh, saat melihat helikopter mendarat di alon-alon. Saya lupa waktu itu ada seremoni apa. Yang pasti bagi saya, melihat helikopter mendarat itu sesuatu yang sangat mencengangkan. Karena biasanya kami cuma bisa lihat dari darat. Itu pun kami yang anak sd nista ini cuma teriak-teriak ndak jelas, pesawat njok duwek e!

Dulu di alon-alon juga pernah ada even parade layang-layang. Selepas ngaji tpq selesai, kami begitu girang banget melihat layang-layang aneka jenis, bentuk dan warna terbang menghiasi langit. Meski saya pulang saat adzan maghrib dan kena omel ibu karena itu, saya tidak peduli. Hampir tiap sore hingga even itu selesai kami tidak jera pulang terlambat demi lihat festival layang - layang di alon-alon .

Pun saat musim haji tiba, kami begitu senang alon-alon ramai sekali. Begitu meriah banyak orang jualan. Banyak bus bus besar terparkir di tepi jalan. Mengantarkan para ibu bapak haji.

Tiap sholat id dan lebaran Alon-alon dan masjid jamik begitu membekas di masa kecil saya. Rumah masa kecil saya memang tidak jauh dari masjid jamik. Ayah tiap tahun selalu membawa kami sholat id di masjid jamik. Ibu saya dan seluruh jamaah perempuan mengambil tempat di alon-alon. Sementara laki-laki berada di masjid hingga jalan raya depan masjid. Kebiasaan itu tetap kami lakukan. Meskipun hingga tiga kali pindah rumah, dan tiap pindah itu kami makin jauh dari masjid jamik, kami sekeluarga tetap sholat id disana. Kami mulai tidak sholat id disana ketika ibu mulai terkena pengapuran tulang, sehingga sakit kalau berjalan jauh dari parkiran motor ke alon-alon.

Kok alon-alon pakai 'O'?

Beranjak dewasa saya mulai melihat pergantian wajah alon-alon. Mulai ada renovasi berupa air mancur, pemavingan seraya ditambah sejumlah fasilitas jalan setapak, taman, dan tempat bermain anak di dalamnya. Pkl juga mulai berjualan di tengah alon-alon. Banyak teman-teman saya yang menyayangkan hal tersebut. Tapi saya dalam hati selalu bersyukur bahwa alon-alon kini membawa manfaat bagi rakyat bawah. Mereka para pedagang kecil itu punya tempat untuk mencari nafkah. Alon-alon pun jadi ramai dan mudah cari aneka kuliner.

Seiring wajah alon-alon yang berkembang, Begitupun kesadaran saya tentang keberadaan alon-alon juga berkembang. Kebetulan memang saya sangat tertarik akan kebudayaan Jawa terutama yang menyangkut soal filosofi hidupnya. Ternyata fungsi alon-alon juga tidak lepas dari filosofi Jawa dan islam.

Awalnya saya sempat mbatin dari kecil kenapa alon-alon itu tidak ditulis dengan huruf u. Rupanya huruf o dari alon-alon itu perubahan bunyi dari kata bahasa Arab Allaunu - allaunu yang artinya beraneka ragam. Gabungan huruf 'au' lama lama di lidah orang jawa berubah bunyi jadi 'o' . Akhirnya jadi alon-alon. Ini sama seperti kue apem yang berasal dari kata bahasa Arab afwan (terima kasih) yang sering muncul ketika ada hajat syukuran orang jawa. Dasar Orang Jawa kreatif, memang suka bikin versi sendiri yang enak bagi lidahnya.

Rupanya, kemunculan allaunu-allaunu merupakan produk dari era wali songo. Ada yang bilang Sunan kalijaga yang pertama kali menggagas sistem tata kota berdasar filosofi macapat orang jawa. Dalam sistem itu, alon-alon menjadi pusat keanekaragaman. Berposisi di tengah, di utara nya pasar, di selatan nya rumah bupati, di barat nya masjid dan di Timur nya ada penjara. Pola konstelasi ruang publik itu juga ditemukan tidak hanya di Gresik. Tapi juga sudah berlaku di Demak dan Tuban.

Alon-alon mengusung konsep ruang publik dengan semangat keragaman. Sama seperti sifat rakyat di bawah bupati yang beragam. Bupati milik segala unsur rakyat, bukan milik satu golongan saja. Alon-alon lapangan semua komponen rakyat, teras semua golongan, halaman keanekaragaman latar belakang rakyat.

Lebih jauh, Alon-alon Gresik saya rasa juga sangat spesial mengusung konsep aneka ragam Yang bersatu. Tengok lah di bagian timur nya terdapat gereja dan kelenteng. Di saat pemerintah pusat dan media masa kini resah tentang semangat bhineka tunggal ika. Lihatlah di Gresik semangat itu tetap terjaga sejak ratusan tahun Yang lalu. Islam, Kristen, tionghoa simbol perbedaan nyatanya tetap rukun dan saling menjaga satu sama lain.

Budak Materialisme vs PKL Santun

Kalau misalnya ada penggembala kambing yang menjual kambing gembalaannya, tanpa pemilik kambing tahu, Itu namanya maling kambing atau penggembala kambing?

Semangat penggembala ada pada kasih sayang merawat kambing, tahu apa yang terbaik bagi kambing, tahu apa yang membahayakan kambing, intinya gembala itu ngemong kambing nya. Tahu apa yang dirasakan kambing nya.

Kalau pemkab punya rencana ujug-ujug alon-alon mau dibikin Islamic center tanpa tanya dulu ke rakyat. Itu sama seperti bawahan yang ngelangkahi juragan. Mungkin anda sudah cerdas, sesuai analogi gembala kambing di atas pemerintah pantas nya jadi peran yang mana?gembala kah? Atau maling? Gembala rasa maling? Maling berkostum gembala? Silahkan sebut semau - mau anda!

Rasanya salah juga saya karena terlalu muluk-muluk. Karena toh ndak pernah ada itu agenda rencana pembangunan yang mengundang semua lapisan rakyat untuk angkat bicara memberikan tanggapan dan pernyataan sikap sebelum pemerintah ambil keputusan. Kita tahunya yang model moro-moro mbangun, nggusur, lalu ujung-ujungnya mangkrak.

Terlepas dari untung rugi tender proyek, yang justru saya soroti dan prihatin adalah ukuran kemajuan masa kini. Semua kota di Indonesia berlomba-lomba mengejar status kota maju. Padahal mbah mbah kita dulu para sepuh berpesan hidup itu golek apik, untuk cari kebaikan bukan mencari status.

Apalagi nilai Ukuran dari status itu sangat klise dan remeh. Ukuran suatu kota maju cuma yang bisa kentara oleh indra terutama penglihatan. Kemegahan dunia, kegagahan materi hanya menjadi satu satunya takaran kemajuan. Alhasil semua pemerintah daerah berlomba-lomba bikin proyek penyembah materialisme.

Sudah ada jalan tol dan KRL malah bikin proyek kereta cepat. Itu pun ngutang. Sudah ada stadion megah tambah lagi stadion baru. Stadion belum selesai mau bikin Islamic center di Alon-alon. Itu pun sudah melenceng jauh dari patrap nilai yang sudah digagas para leluhur.

proyek-proyek itu semua kebermanfaatan nya kecil. Sepertinya pemerintah kita saat ini lagi gandrung-gandrung nya berbangga hati bila di kota nya ada bangunan fisik yang mewah dan megah. Ada Islamic center, ada apartemen, ada stadion kedua, ada gedung gedung bertingkat, jalan tol, kereta cepat, monorel, kondominium, trem, segala hal Yang keren tapi juga remeh. Remeh sebab pembangunan itu berproses atas tangis rakyat nya yang sangat santun.

Saya punya tetangga depan rumah sepasang suami istri yang berprofesi sebagai pkl di alon-alon. Tiap sore mereka berangkat menuju alon-alon membawa gerobak yang ditarik dengan motor butut. Mereka berjualan disana hingga malam.

Saat unjung-unjung lebaran kemarin kemarin saya dan istri ke rumah beliau sebab di gang kami adalah pasutri termuda. Kami goda mereka dengan isu Islamic center. Tidak ada raut kecewa pada wajah mereka. Tidak ada wajah berang, ekspresi emosi sakit hati, pun tidak ada kata menyayangkan.

Bapak itu bilang bahwa mau diapa-apakan otoritas alon-alon ada pada bupati. Kalau memang kami pkl harus tersingkir kami manut. Kami tidak bisa berbuat banyak. Kami manut pak bup saja. Apa yang terbaik bagi alon-alon dan Gresik. Soal nanti dapat atau nggak tempat relokasi yang pasti itu sudah kami serahkan ke bupati saja nak.

Saya tidak menjawab dengan detail. Tapi perasaan saya berkecamuk. Melihat rakyat bawah, wong cilik, grass root, yang begitu santun sikap nya meskipun menghadapi penguasa.

Dalam hati ingin saya jawab, pak, tahukah bapak, memang otoritas alon-alon ada di pemkab. Tapi tahukah bapak milik siapa alon-alon itu sejatinya? Apakah kalau saya sebut alon-alon itu milik rakyat itu terlalu berlebihan? Rakyat yang senantiasa santun seperti bapak yang taat bayar pajak, beli motor tidak dibantu tapi ditarik pajak, beli kaset, mobil, makanan minuman, bikin rumah, berobat, dagang mamin di tengah alon-alon semua itu tanpa bapak dapat bantuan modal apapun dari pemerintah. semua lini, kebanyakan rakyat sudah mandiri dan tidak ada campur tangan pemerintah pun dalam membantu kehidupan rakyat kecil.

Pemerintah taunya hanya kalau tidak bayar ya saya denda. Tidak ada kepengasuhan sama sekali dalam filosofi kepemerintahan mereka. Aset negara, Aset rakyat diklaim sebagai milik nya.

Mungkin bapak santai santai saja di permukaan. Tapi mungkin dalam hati bapak mau sampaikan pesan, nak, Alon-alon (Bukan Lagi) Milik Rakyat Kecil. Entah.

Gresik, 11 juli 2017

0 komentar: