Kini listrik bisa dinikmati. "Bahkan, sebagian dari kami dapat melihat tv," akunya. Soal agama pun telah banyak orang Sade yang ...

Suku Sasak Sade Perlahan Ikuti Zaman

Kini listrik bisa dinikmati. "Bahkan, sebagian dari kami dapat melihat tv," akunya. Soal agama pun telah banyak orang Sade yang memeluk Islam.

Baru beberapa menit saya menaruh motor di tempat parkir, ada satu orang desa yang mulai menghampiri saya. Dengan kikuk dan setengah lugu, seorang pria mengenakan kemeja putih tulang bercorak garis serta bersarung songket hijau pun berucap, singkat kata ia ingin mengantarkan kami masuk ke Sade. "Selamat datang di Sade, mari masuk" ia berkata dengan logat Lombok Tengah yang khas.

Ia pun lalu menggiring kami menuju gerbang masuk desa adat suku Sasak Sade. Tak jauh dari pintu gerbang saya diwajibkan mengisi buku tamu sekaligus sumbangan untuk pembangunan desa. "Sini mari ikuti saya," guide yang akhirnya kami tau ternyata bernama bapak Mesah itu menggiring kami masuk desa. Perlahan, wajah Sade sebagai hunian suku Sasak Lombok pun mulai terlihat dari kejauhan.

Tawa riang anak-anak di Sade saat bermain bersama.
Kala itu, sedang hujan gerimis di Sade. Sebelum masuk lebih dalam, Saya melewati gadis-gadis cilik Sade yang sedang tertawa riang sewaktu bermain dengan sebayanya. Deretan bale tani, rumah tinggal bagi penduduk Sade yang berprofesi petani berjejer di kiri kanan saya. Sejak saat itu saya sadar telah masuk di kampung suku asli Lombok, Desa Sade, Rembitan Lombok Tengah.

Orang-orang Sade merupakan orang asli Lombok. Mereka dipercaya keurunan asli ras Austronesia yang dulu pada 5000 SM melakukan migrasi ke pelosok tanah air hingga sampai Pulau Lombok. Pada akhirnya, nenek moyang mereka membuat pemukiman di Sade. Hingga kini geliat hidup dan budaya Sasak masih kental di sana, di Sade yang kini menjadi desa wisata yang cukup terkenal.

Bale tani di deretan sebelah kiri dan lumbung (kanan) yang dipakai warga Sade untuk menggelar dagangan.
Meski Sade sendiri terletak persis di samping jalan raya aspal nan mulus, penduduk desa Sade masih berpegang teguh menjaga keaslian desa. Lihatlah bangunannya yang terkesan sangat tradisional. Atapnya dari ijuk dengan kuda-kuda memakai  bambu tanpa paku, tembok dari anyaman bambu dan alas lantai dari tanah. Orang sasak sade menamakan bangunan dengan bale. Ada delapan bale kata Pak Mesah, yaitu Bale Tani, Jajar Sekenam, Bonter, Beleq, Berugag, Tajuk dan Bencingah. Bermacam bale itu dibedakan berdasar fungsinnya.

Tertidur pulas di lantai rumah yang sudah dilapisi tai kerbau.
Uniknya lagi warga desa punya kebiasaan khas yaitu mengepel lantai dengan menggunakan kotoran kerbau. Jaman dahulu ketika belum ada plester semen orang Sasak Sade mengoleskan kotoran kerbau di alas rumah. “Sekarang sebagian dari kami sudah bikin plester semen dulu, meski begitu kami tetap mengolesi kotoran kerbau,” kata ibu penjual suvenir yang saya tanyai. Konon, dengan cara begitu lantai rumah dipercaya lebih hangat dan bisa mengusir nyamuk. Yang aneh, tak ada bekas bau tidak sedap yang tercium.

Warga Sade menggelar lapak-lapak dagangan. biasanya para wanitanya berjualan kain tenun dan bermacam suvenir. 
Nenek yang sedang memintal benang dari gumpalan kapas.
Pengaruh Luar
Instalasi listrik terpasang.
"Sampai sekarang masih ada 150 KK disini," ucap Pak Mesah. Ia bercerita sudah ada banyak perubahan menghiasi wajah Sade. Bila zaman dulu tidak ada, kini listrik bisa dinikmati. "Bahkan, sebagian dari kami dapat melihat tv," akunya. Soal agama pun telah banyak orang Sade yang memeluk Islam. Orang Sasak asli pada zaman dahulu terkenal dengan agama Wektu Telu, Islam tapi hanya sholat tiga kali saja dalam sehari. Berbeda dengan Islam yang mengajarkan sholat lima waktu sehari. "Kini sebagian besar dari kami memeluk islam, kalau jaman dulu masih banyak yang memeluk wektu telu," jelasnya lagi.

Gelang dan kalung juga dijual selain kain tenun.
Untuk urusan pekerjaan, pengaruh dari luar juga membawa perubahan sosial di Sade. Orang Sade dulunya terkenal yang laki-laki mahir bertani dan yang wanita pandai membuat kain tenun. Namun kini, banyak laki-laki disana yang berprofesi sebagai guide contohnya Pak Mesah. "Kalau sedang ramai wisatawan ya saya jadi guide dadakan, menjelaskan seluk beluk desa. tapi saya juga tetap bertani," jelasnya. Sementara, wanita Sade yang pandai menenun menggantungkan hidup menjadi penjual suvenir khas Sade, tenun ikat dengan benang dari pewarna alami. Yang unik, bahkan para lansia wanitanya juga masih ikut dalam proses pembuatan tenun ikat.

Puas berkeliling dan membeli buah tangan khas Sade, tiba
Bersama Pak Edy
waktu untuk saya melanjutkan keluyuran lagi. Kembali ke pintu gerbang, saya bertemu guide lain, namanya Pak Edy yang saat itu memakai baju khas Sasak Sade dengan atribut lengkap. Saya meminta untuk berfoto dengannya lalu ngobrol sebentar. Sebelum mangkat, saya berkata kepadanya, andai saya bisa tinggal barang seminggu di Sade untuk menyelami kehidupan disana, pastinya menarik. Ia pun membalas ucapan saya tadi dengan mendoakan saya di masa depan bisa kembali lagi ke Sade. Setengah sumringah saya berujar dalam hati, "Ah, saya yakin doa itu pasti akan terkabul." Kuz9



2 komentar:

  1. Iru yang lantai dilapisi kotoran hewan bagaimana bisa tidak bau bang tikus??
    hahah, unik-unik ya ternyata orang Indonesia ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah belum ada kajian khusus yang ngungkapin itu bang. mungkin bisa ilang gara2 suhu di dalam ruangan dan sirkulasi udara.

      Hapus