Barangkali kalau melihat Cak Kaspolan anda akan bersedih hati sekarang. Sebab, kini dia itu menyedihkan nasibnya. Menafkahi anak istrinya sa...

Istimewa

Barangkali kalau melihat Cak Kaspolan anda akan bersedih hati sekarang. Sebab, kini dia itu menyedihkan nasibnya. Menafkahi anak istrinya saja tidak bisa layak. Lha, kerjanya cuma jadi karyawan toko retail kecil. Saban awal bulan gaji yang diterimanya tidak sampai Uang UMK. Itupun pasti langsung ludes banyak sebab buat bayar uang iuran. Sisanya baru dikasihkan buat hidup anak istrinya.

Oleh karena itu, banyak orang di sekitarnya sedih akan nasibnya. Terlebih kalau dibandingkan dengan dulu waktu dia kerja di perusahaan. Nyebut nama perusahaannya aja orang udah terkesima dan menyimpulkan pasti gajinya banyak. Belum lagi kalau mau nerima amplopan. Kerjanya juga mentereng, bisa ketemu orang-orang penting skala provinsi maupun nasional.

Satu dua kali ekspresi getir orang yang masuk ke telinga Kaspolan membuat dirinya ikutan bersedih. Owalah kasian kerja jadi pegawai toko. Kerjanya lama, gajinya sedikit. Slentingan macam itu pernah masuk ke telinganya. Tapi bukan Cak Kaspolan kalau dia tidak merdeka dan bebas dari standar-standar picisan orang-orang awam di sekitranya.

Di satu sisi dia mengapresiasi bahwa rau getir itu adalah salah satu bentuk kegetiran. Namun, selama dirinya tidak mencuri, menyakiti, dan membunuh maka tidak ada hal yang perlu dibesar-besarkan sebagai suatu rasa malu.

Terlebih dari posisinya yang katakan orang miskin, orang kecil menurut sebagian orang, dirinya justru merasa bahagia. Itulah Cak Kaspolan yang saya kenal. Naik turun kehidupan selalu ada saja celah untuk dirinya bebas. Bahagia dan merdeka dalam cara pandang yang dia bangun.

Satu kali pernah aku mengobrol dengannya selepas magrib.

“Cak, sampeyan dibilang orang-orang sekarang itu kere”

“Terserah orang bilang aku kere, kalai menurutku aku kaya, mau apa?”

“Kaya dari mana cak, sampeyan ini ngasih nafkah anak istri aja masih gratal-gratul”

“Tuhan beri rahmat ke aku lewat jalan apa saja. Mau lewat uang banyak. Uang sedikit. Musibah. Atau utang”

“Maksudmu cak?”

“Gini lo, kan rejeki itu nggak melulu ketika anda lapang dan senang saja tho? Keadaan kayak aku ini juga termasuk rejeki”

Dengan keadaan serba terbentur, terhimpit, kepepet, megap-megap, Kaspolan jadi GR dekat dengan Kanjeng Nabi. Kalau dulu dia merasakan kejayaan (semu) dia tidak pernah mendapat rezeki mesra dengan Allah dan Kanjeng Nabi. Tapi kini begitu yang dia rasakan sebaliknya.

Ya betul orang bilang Kaspolan adalah orang kecil, miskin, bodoh, dan rendahan. Tapi di titik lapisan social yang rendah sekali macam begitu dia malah punya sambungan kemesraan yang tinggi pada Allah. Khususnya kepada Kanjeng Nabinya yang sangat memuliakan orang kecil, orang pinggiran.

Cak Kaspolan bercerita, (jangan dicoba cari keabsahannya, sebab dia juga bukan ustadz bukan apa) suatu hari Nabi dapat anggur dari orang miskin yang kebetulan lewat. Anggur SI Miskin itu ia makan habis tanpa menghiraukan Abu Bakar di sampingnya. Hingga Abu Bakar pun protes, kok dimakan sendiri sih Nabi? Kanjeng Nabi pun menjawab, kalau aku berikan ke kamu, aku tak kuasa membiarkan hati Si Miskin itu akan terluka. Sebab anggurnya tiada yang manis.

Kisah lain juga menunjukkan cara nabi begitu memuliakan orang-orang rendahan, lanjut Kaspolan. Pernah suatu ketika ada orang badui belum pernah bertemu Kanjeng Nabi thawaf sendirian memisahkan diri dari rombongannya. Dia sengaja demikian karena tidak bisa mengahafalkan dan melafalkan doa thawaf dengan baik. Maka dia cuma berthawaf sambil mengucap Ya Karim yang diulang-ulang. Tak disangka Nabi yang melihatnya mengikuti di belakangnya sambil menirukan ucapannya. Hingga di akhir kejadian Nabi menyampaikan padanya bahwa Si Badui nanti akan menjadi salah satu pendampingnya di Surga kelak.

Jadi jelas mengapa Cak Kaspolan tawanya selalu riang meski dalam kemelaratan dan kesengsaraan. Sebab dirinya tahu ada perlakuan istimewa dari idolanya hanya untuk orang-orang sejenis mereka.

Kaspolan sangat memimpi-mimpikan hal itu terjadi padanya. Karena dia orang kecil, orang rendahkan, kurang pandai, tidak kaya. Berharap sedemikian besar suatu saat nanti bertemu dan disapa kanjeng nabi yang pernah suatu masa beliau bilang, aku dekat dengan orang miskin dan orang lemah.

Namun, seketika ingatan Kaspolan berbelok pada dosa kecil dosa besarnya. Mimpi itu menjadi tak sekuat sebelumnya.

0 komentar: