Cabak kota terbang berputar-putar di atas bangunan tua pinggir jalan. Sayapnya membentang. Burung liar itu melayang. Menampakkan segurat g...

Dua Puluh Kilometer

Cabak kota terbang berputar-putar di atas bangunan tua pinggir jalan. Sayapnya membentang. Burung liar itu melayang. Menampakkan segurat garis putih di bagian bawah masing-masing sayap dan ekornya. Tanpa melihat ciri fisik, Lik Karso sudah sangat hafal burung itu. Bunyi cuitannya sangat khas. Lengkingan pendek hanya sekali. Berhenti, lalu diulang lagi.

Nyanyian burung nokturnal itu membuat Lik Karso makin gusar. Di kampungnya, kemunculan cabak adalah pertanda wayah wengi. Waktu bagi manusia membasuh diri, menunaikan sholat di langgar kampung. Para pria sudah pulang dari sawah. Kembali ke peraduan, bercengkrama dengan anak dan istri tersayang.

Terpisah jauh dari kampungnya, Lik Karso masih mengadu nasib di kota. Di depan bangunan tua dekat perlimaan lampu merah Lik Karso masih berharap ada pelanggan membeli jakrakan yang telah dia buat sewaktu di kampung.

Itu adalah mainan tradisional. Terbuat dari janur kelapa yang dikeringkan. Dianyam sedemikian rupa hingga membentuk burung. Bagian dasarnya beroda empat. Biasanya jakrakan dimainkan para bocah di desa dengan cara menariknya dengan seutas tali panjang.

Sewaktu adzan maghrib berkumandang Lik Karso merasakan perbedaan budaya yang mengusik. Seruan ilahi itu diperlakukan sekunder di tengah hiruk pikuk kota. Lik karso ingat semua anak desa pasti hening dan menjawab adzan. Tidak ada suara apapun selain suara bilal yang diperkenankan menyaingi kumandang adzan.

Lik Karso terbayang petuahnya sendiri pada Si Tole. Tidak ada bebunyian apapun di semesta ini yang pantas mengungguli suara adzan. Meski suara raja dangdut Rhoma Irama lebih membahana. Atau suara penyanyi legendaris Mesir Ummi Kultsum jauh lebih syahdu. Adzan tak bisa diungguli oleh suara makhluk.

Kenangan akan Si Tole di rumah membuatnya makin gusar. Putra semata wayangnya itulah yang jadi alasan mengapa dia terjebak di tengah hiruk pikuk kota. Kemarin Tole minta pada bapaknya untuk dibelikan mainan mobil rimot. Dengan enteng dan optimis Lik Karso mengiyakan. Mantap hatinya bahwa dagangannya bakal laku keras di kota. Sebab orang kota itu suka kerajinan tangan. Anggapnya dangkal.

Namun, apa yang terjadi sekarang adalah pemandangan seorang bapak parobaya tak jauh dari lampu merah perlimaan. Duduk dengan tulang belakang membungkuk. Kedua tangannya dia sandarakan pada lututnya. Sedang dua bola matanya memandang sepeda tua dengan ronjotan terpasang di kanan kirinya.

Dua keranjang bambu itu berisi puluhan jakrakan yang belum juga laku. Hati lugu desanya masih saja percaya ada yang meminati mainan kuno itu. Mainan yang dulu pernah jadi primadona sampai-sampai ada kabar bahwa Presiden Kedua Republik ini pernah memborongnya 1 truk untuk dijadikan buah tangan. Sempalan cerita itu masih jadi euforia di kepala Lik Karso. Baginya dan bagi para rekan pengrajin berjualan jakrakan adalah salah satu sumber penghasilan utama selain bertani.

Namun apa mau di kata. Baginya yang tak sekolah. tak pernah baca koran atau sempat lihat teve tak tahu bahwa arus kemajuan teknologi membuat penduduk kota tak sekedar berlari kencang namun capainnya sudah berpindah dimensi. Dari nyata ke maya. Orang-orang kota dewasa belanja barang, kirim barang, bayar tagihan, terima-kirim uang, makan-minum, bersihkan rumah, bahkan mau pijet pun tinggal tutal-tutul layar sentuh dunia maya.

Pun anak-anak. Untuk bermain mereka tinggal tutal-tutul segala jenis gam-gem. Aneka permainan canggih koleksi di smartphone kapan saja bisa dimainkan. Tak perlu susah payah memanjat pohon kelapa. Memotong janur muda. Mengeringkannya. Menganyamnya. Semua butuh waktu lima hari hingga jadi jakrakan.

Jangan ceritakan itu semua pada Lik Karso. Dia tak akan paham. Baginya mobil rimot, yang maksudnya adalah mobil remote control, sudah jadi mainan yang canggih bagi ukuran anak-anak dusun.

Pandangan Lik Karso berganti pada ruas jalan. Orang-orang kota masih lalu lalang di jalan raya saat maghrib. Lampu-lampu mobil dengan benderang menyorot jalan. Saat lampu merah menyala macet panjang mendera pengguna jalan. Deru ragam merk mesin kendaraan bermotor yang berhenti bercampur aduk jadi satu. Kala lampu berubah hijau suara mesin tenggelam oleh bunyi klakson-klakson yang galak. Itu semua membuat telinga Lik Karso pekak.

Kepala yang tadinya tegak kini mulai tersandar di atas lengannya. Lik Karso memejamkan mata barang sejenak. Matanya perih akibat sorot lampu LED sepeda motor. Kata orang kota lampu itu yang bikin motor kelihatan lebih canggih.

Dalam gelap matanya, bayangan si Tole muncul. Anak yang baru saja masuk SD itu selalu bungah saat bapaknya pulang ke rumah. Lik Karso biasanya menggendong anak itu dengan tangan menghadap langit. Diturunkannya pelan-pelan lalu dia cium pipi kanan dan kirinya. Saat begitu, Tole geli pipi mulusnya tersenggol kumis kasar sang bapak yang baru tumbuh usai dicukur.

“Pak, Pak. Pak!” suara anak kecil berteriak kencang.

Terdiam lama, barulah kemudian Lik Karso terjingkat sadar. “Eh, iya...Le. Ada apa?”

Berdiri di hadapannya seorang bocah laki-laki. Tingginya sekepala Lik Karso saat dalam posisi duduk. Bajunya kumal, kulitnya legam. Bau keringat apak menusuk hidung. Bibirnya kering dan mulai pecah-pecah.

“Beli satu ya pak, berapaan?”

“Satunya lima ribu, Le”

Bocah kecil itu lalu memilah-milah uang koin. Dia tumpuk recehan 500 rupiah jadi satu. Dia bedakan dengan recehan 1000 rupiah sambil bibir mungilnya komat-kamit menghitung. Ada sinar di matanya yang menginginkan uang itu cukup untuk membeli dagangan Lik Karso. Hasil dia baru saja mengamen di deretan toko di sepanjang jalan yang dia lewati. Tapi sayang, saat ini sudah banyak toko bertuliskan “Ngamen Gratis”.

“Ndak jadi pak. Uang saya kurang”

“Berapa memang uangmu itu, Le?”

“Tiga ribu rupiah pak” ujar Si Bocah sembari terseringai malu.

“Yo wis Le. ndak papa” Ucap Lik Karso sambil meraih genggaman tangan anak itu. Jari besar dan kasarnya meraba-raba uang receh si bocah. Lalu diambilkannya satu jakrakan dari ronjotan. Dia pasangkan tali pada bagian depan supaya mainan itu bisa melaju saat ditarik tuannya.

Diberikannya jakrakan yang tak kunjung laku pada bocah itu. Disusul jemari berjumput mengembalikan empat uang koin 500 rupiah pada bocah itu. “Ini le, buat beli minum nanti”.

Bocah pengamen itu tak sanggup membendung perasaannya. Berjingkat kaki mungilnya. Dipandangnya mata Lik Karso dengan binar gembira sambil bibirnya tersungging senyum lebar. Hari itu dia mendapat semacam surprize yang sangat membahagiakan. Kejutan dari orang pinggiran. Jakrakan terhuyung-huyung ditarik. Karena terlalu ringan mainan itu sesekali berlompatan ke udara. Mata lelah Lik Karso terus mengikuti bocah pengamen itu. Tak sempat mulut bocah dekil itu mengucap terima kasih, hingga akhirnya dia lenyap usai menghilang di belokan ujung perlimaan.

Saat ini di kantong baju coklat bergaris Lik Karso tersimpan satu koin logam seribu rupiah. Jauh panggang dari api. Namun, dia tidak sedih. Hanya saja sedang menyedihkan sesuatu yang pahit dalam hatinya. Kenyataan bahwa uang itu dia dapat dari bocah yang jauh lebih muda dari Si Tole di kampung. Bocah kecil yang tak sempat nikmati waktu.

***

Suara cabak tak lagi di dengar Lik Karso. Burung itu tak lagi melayang di atas tengadahnya. Yang kini tersisa di dekatnya hanya bangunan kuno tinggalan Belanda. Yang sudah lapuk temboknya, catnya terkelupas, halaman sempitnya dipenuhi rumput liar, dan pagarnya sudah berkarat parah.

Gelap bangunan itu karena nihil lampu penerangan, namun di seberangnya begitu kontras. lampu-lampu kendaraan penuh riuh menyoroti jalan. Begitu modern. Karso ada di sana hanya sebagai elemen kontras. Mereka adalah sepotong sudut zaman yang seolah modernisasi meninggalkannya deras di belakang. Sangat jauh. Bangunan Belanda dan Penjual Jakrakan. 

Beberapa mobil mendadak melambat usai tak kebagian lampu hijau. Terpaksa harus berhenti barang sejenak. Puluhan detik terasa begitu lama bagi para pekerja yang ingin segera sampai di rumah. Tapi rakyat kecil bisa apa. Membebaskan diri dari macet setiap jam pulang kerja sama saja seperti melarikan diri dari cengkraman naga dengan tangan hampa.

Satu mobil berwarna perak terlihat menepi. Sopirnya tergopoh-gopoh keluar menghampiri dagangan Lik Karso usai memarkir mobil tak jauh darinya

"Berapaan pak mainannya ini?" tanya seorang bapak muda berpakaian rapi ala pekerja kantoran.

"Lima ribuan pak"

"Kalau begitu saya beli empat pak?"

"Ya pak" Ujar Lik Karso sambil meladeni pelanggan barunya.

"Ini Pak" Si Bapak Muda menyerahkan selembar uang seratus ribu rupiah.

"Headalah pak, saya tidak ada kembaliannya. Uang pas saja nggih"

"Saya kebetulan juga tidak punya uang kecil pak. Begini saja pak ambil saja kembaliannya buat bapak"

"Endak pak, jangan. Pekiwuh saya sama sampean. Saya ladeni saja sesuai uang sampean. Ini dapatnya 20 biji pak. Apa bapak lilo (ridho)?"

Salah satu kaca mobil Si Bapak Muda terlihat terbuka. Terlihat seorang anak kecil melongok keluar jendela. Tangannya yang gemuk dan putih mengenggam ponsel pintar. Wajah bersihnya semakin terang disinari lampu layar. Papanya menghampirinya membawah 20 buah mainan yang sama sekali tak pernah dia jumpai seumur hidupnya. Mobil anyaman berbentuk burung.

Mungkin barangkali Papanya itu rela merogoh uang seratus ribu rupiah untuk memborong mainan tradisional bikinan Lik Karso, agar anak kesayangannya tidak kecanduan main gadget. Atau mungkin si papa juga ingin nostalgia masa kecilnya dulu. Atau punya rencana bermain bersama anaknya, permainan yang lebih seru daripada sekedar game di ponsel pintar yang bikin anak pasif, diam tak bergerak.

Apapun itu yang kini terlihat usai mobil itu pergi adalah isi ronjotan di sepeda Lik Karso hampir mau habis. Berganti dengan uang Rp 100.000 di kantong saku kemejanya.

***

Mobil warna kuning menyala. Di kemasannya terdapat logo banteng kuning lagi menyeruduk. Mobil remote control itu berdiam di ronjotan dagangan Lik Karso bersama sisa sedikit jakrakan yang ada disana. Tadi malam dia paksa belikan uang hasil dagangannya itu di toko mainan di kota, selepas adzan isya berkumandang.

Karena tak cukup waktu mengayuh pulang dari kota ke desa, tadi malam dia putuskan untuk berhenti di musholla pinggir jalan dan bermalam disana. Usai jamaah sholat subuh Lik Karso kembali melanjutkan perjalanan pulang.

Saat sepeda tuanya dikayuh melewati hamparan tambak ikan di pinggir jalan, burung-burung air memulai jam biologisnya. Mencari makan saat pagi hari dan mereka akan kembali pulang pada petang hari. Namun yang dilakukan Lik Karso adalah keterbalikan dari mereka. Lik Karso malah pulang saat mereka mulai aktif mencari makan.

Di ujung matanya, seekor dara laut terlihat terbang menukik menceburkan paruhnya terlebih dahulu masuk air. Sebelumnya ia cuma terbang berputar-putar di atas tambak. Dan kini seekor mujair kecil terjepit di paruh runcingnya. Karso senyam-senyum melihatnya.

Habis sudah yang hasil jualan kemarin ditukar dengan sebuah mobil remot control. Jarak 20 kilometer harus Lik Karso tebus untuk kembali ke rumah. Sebagai gantinya, bayangan wajah si Tole meloncat kegirangan membuka mainan yang ia bawakan.

Di depan tambak ikan itu ada gubuk miring. Kedai es campur langganan Karso. Kalau lagi punya uang dia sempatkan mampir sebentar untuk istirahat sambil minum es campur.

Jakunnya naik turun. Menenggak ludah nya sendiri. Cak pur penjual es campur itu pun berteriak. "Mampir dulu cak, sini!"

Lik karso cuma melengos. Tahu isi dompetnya sekarang cuma tinggal angin. Tak perduli nanti keluarganya makan apa.

"Persetan. bebek, ayam, kadal, pun Dara laut di depanku ini. Mereka tak punya profesi tapi toh masih bisa makan"


Bungah, 5 September 2018

0 komentar: