Pandangan tentang ukhuwah islamiyah boleh jadi mengalami perluasan konteks. Tidak hanya dangkal sebatas persaudaraan antar sesama kaum mu...

Ukhuwah Yang Menyelamatkan


Pandangan tentang ukhuwah islamiyah boleh jadi mengalami perluasan konteks. Tidak hanya dangkal sebatas persaudaraan antar sesama kaum muslim seperti pemahaman yang selama ini awam di khalayak. Melainkan sanggup dan sangat layak memuai dari padatan beku tersebut.

Memang tidak salah, bila ukhuwah islamiyah hanya terbatas pada perilaku kepada saudara seiman saja. Namun, mengapa tidak lebih indah diijtihadi sebagai persaudaran (ukhuwah) yang bersifat islam (islamiyah). Persaudaraan yang menyelamatkan.

Landasannya jelas, secara harfiah Islam berati selamat. Kata Islam tersusun dari tiga huruf hijaiyah sin, lam, dan mim : Salama, yang bermakna selamat.  Dalam pengertian bahasa, islam sendiri merupakan bentuk mashdar dari kata aslama (turunan Salama) yang memiliki arti damai atau kedamaian.

Hal itu sesuai dengan yang termaktub dalam Al-Quran, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian (lis slami) maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Anfaal – 61).
Ukhuwah Islamiyah bisa bermaksud persaudaraan yang saling mengislamkan, saling menebar kedamaian, saling menyelamatkan bagi apa dan siapa saja. Dengan begitu konsep tersebut akan berlaku dalam konteks yang sangat luas. Baik untuk sesama muslim, di luar muslim, manusia, bangsa dan negara. Bahkan lebih jauh untuk tumbuhan, binatang dan kepada seluruh alam semesta.

Lebih gamblang, contoh teknis apa itu menyelamatkan sudah disabdakan Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar, “Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim lainnya. Dia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan dan seorang Muslim suatu kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kemudian.”

Sudah jelas bahwa islam itu rahmatan lil alamin. Sayangnya, persoalan di tataran ukhuwah masih belum tuntas. Banyak pertikaian yang muncul akibat perbedaan. Mulai dari perbedaan suku, etnis, ras, bangsa, dan agama. Bahkan hingga perbedaan cara pandang, paradigma, mahdzab, atau ideologi. Konteks terebut berlaku dalam hubungan antar muslim atau secara luas.

Padahal sunnatullah menghendaki apa yang terjadi dalam alam semesta ini berbeda-beda. Tidak seragam adanya. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujurat – 13)

Rumus hidup dalam perbedaan menurut Allah sangatlah lah clear. Bila anda menemukan perbedaan yang anda lakukan paling utama adalah li taarafu, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sayangnya ayat terbut masih kurang dalam kita maknai. Kalau Allah berfirman dalam ayat itu laki-laki dan perempuan kita berhenti pada tataran perbedaan gender.

Namun bila kita mau membuka pori-pori lebih lebar dan menimba hikmah yang luar biasa dahsyat dari ilmu Allah, Dzakari wa untsa juga dapat kita maknai sebagia unsur maskulinitas dan feminitas. Tidak hanya manusia saja. Bahwa alam semesta ini memiliki dua termin unsur. Maskulin atau feminin. Ada yan keras ada yang lunak. Ada yang kasar ada yang lembut.

Lebih jauh, suuban wa qobail juga tidak hanya sebatas suku dan bangsa. Hal itu bisa karakter dan pola kecenderungan akan banyak hal. Karakter macan berbeda dengan kucing. Kelapa berbeda dengan pisang. Bahkan empat sahabat nabi Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib saling memiliki kecenderungan watak yang berbeda satu sama lain.

Contoh konkret di zaman ini adalah ada beragam identitas mulai dari kelompok, golongan, perbedaan mahdzab, ormas, partai politik, dan seterusnya. Namun di akhir ayat tersebut, Allah menutupnya dengan mengesampingkan identitas yang manusia bangga-banggakan itu dengan menggarisbawahi pentingnya output. Bahwa label mulia atau hina di rapor Allah ditentukan oleh sikap takwa manusia.

Celakanya, dewasa ini kebanyakan orang secara sepihak mengklaim kebenarannya sendiri. Ketika orang berkeyakinan benar mereka akan menyalahkan orang lain. Sehingga yang terjadi adalah perpecahan. Rasa lebih baik dan lebih benar ini sudah disinggung oleh Allah SWT melalui firman berikut.
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al Hujurat – 11)
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Al Hujurat – 10)

Mengapa kita tidak bersikap tawadhu. Rendah hati seperti yang dicontohkan oleh Imam Syafii lewat adagium, “saya mungkin benar, tapi bisa jadi salah dan pendapat selain saya itu mungkin salah tapi bisa jadi benar”.  Lebih jauh, yang paling berhak mengklaim kebenaran hanyalah Allah. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu (Al Baqarah – 147).

Alangkah indahnyamenjaga persaudaran dengan kunci rendah hati. Indahnya benar tanpa menyalahkan orang lain. Betapa indahnya menang tanpo ngasorake. Menang tanpa meniadakan, merendahkan orang lain.

Gresik, 15 Mei 2018

0 komentar: