Kita patut bersyukur tuhan yang sangat kita cinta, Allah SWT melimpahkan rahmat yang begitu besar pada umat islam di negeri ini. Rahmat itu salah satunya adalah semangat berislam yang sungguh besar. Sehingga peribadatan umat menjadi kian semarak.
Di tv acara siraman rohani ada tiap pagi, petang dan malam. Malah ada stasiun tv khusus program religi. Orang berangkat umroh di bandara ada tiap minggu. Disana sini penuh agenda pengajian, majelis dzikir majelis ilmu, majelis sholawat ramai digelar.
Meski besar semangat beragama tapi kalau tanpa diimbangi dengan sikap seimbang dan saling toleransi terhadap perbedaan beribadah maka muncul semacam turbulensi. Sifat Ahmaq pun hinggap. Menjadikan umat tipe yang kaku, ingin benar sendiri dan menyalahkan yang berbeda. Cara berpikir menjadi sangat meleset. Muncul fenomena umat yang menjadikan Mahdzab sebagai agama.
Padahal, sudah jelas Gusti Allah sudah menekankan ibadah manusia hanya pada level semoga diterima. Mung mugo-mugo, artinya hanya sebatas Mudah-mudahan. Bisa diterima atau mungkin ditolak.
Jadi tidak manusia bisa memastikan apa yang dia lakukan diridhoi oleh allah atau tidak. Karena diterima atau tidak itu merupakan hak prerogatifnya Allah.
Ya coba deh kita membayangkan agak nakal sedikit. (sedikit kan ndak apa apa asal ndak keterlaluan toh).
Susah jadinya kalau misalkan saja tuhan memberikan legitimasi penuh pada manusia untuk menilai suatu kebenaran. Karena toh manusia memang cenderung diciptakan berbeda beda. Wajaalahu suuban wa qobail.
Kalau memang jadinya kayak gitu, Takut nya kebenaran tercipta sangat beragam dan parahnya antar versi saling perang klaim. Lebih parah kalau klaim kebenaran manut oleh nabi nabi politik dan gempita isu pilkada
Kita ambil contoh, ada mayyit nenek yang kebetulan namanya hindun tidak disholatkan
Al Quran Surah Al Israa:79
”Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.”
Pernah Abu Bakar berselisih dgn Umar masalah shalat tahajud itu musti tidur dulu atau tidak. Keduanya kemudian menghadap kepada Rasulullah dan menceritakan masalahnya, yaitu bahwa Abu Bakar suka bertahajud tanpa tidur dulu, sedangkan Umar tidur dulu. Rasulullah hanya menjelaskan bahwa Abu Bakar adalah orang yg hati2 (karena gak pengen tahajudnya terlewat), sedangkan Umar yg tidur dulu itu adalah orang yg kuat.
Kalau sekiranya Kanjeng Nabi tidak memegang prinsip bahwa ibadah itu hanya sebatas semoga. Mungkin adegan tersebut tidak akan terjadi. Bahkan malah jadi adegan yang menyulut perpecahan.
Kanjeng Nabi punya posisi spesial dari allah. Namun tidak berani menilai ibadah umatnya. Tidak berani mengklaim kebenaran. Sebab diterima atau tidak suatu amalan. Hanya tuhan saja yang tahu.
Nah kalau Kanjeng Nabi sang manusia paripurna yang sudah dijamin surga oleh gusti Allah saja bermahdzab the power of mugomugo, lalu level kamu itu apa, pangkat kamu itu seberapa, posisi mu di mata allah itu yang bagaimana? Kok merasa paling baik? Kok merasa paling diterima ibadahnya?
0 komentar: