Tren pendakian ke gunung tujuan wisata terasa makin populer saja akhir-akhir ini. Begitu yang saya rasakan saat naik ke Gunung Penanggung...

3 Macam Ulah Oknum Pendaki Penanggungan yang Bikin Ngelus Dada


Tren pendakian ke gunung tujuan wisata terasa makin populer saja akhir-akhir ini. Begitu yang saya rasakan saat naik ke Gunung Penanggungan sabtu (29/9) lalu. Pendakian kali kedua tersebut melewati jalur Tamiajeng, Trawas, Mojokerto. Beberapa hari sebelum pendakian banyak yang bilang Penanggungan sangat ramai pada weekend. Ternyata statement itu bukan hanya sekedar isapan jempol.

Di tempat penitipan, deretan motor sudah berjubel. Itu kalau dihitung ada lah sekitar 100 unit. Nah kalau satu motor dinaikin dua orang. Itu berarti ada 200 orang yang mendaki Penanggungan malam itu. Belum lagi yang bawa mobil. Saat kami start mendaki pukul 20.00 WIB ternyata pendaki lain masih terus berdatangan.

Entah gelombang tren macam apa yang bisa membuat Penanggungan kini jadi opsi tempat malam mingguan pengganti mall atau cafe. Apa iya efek film 5 cm sehebat ini? Tapi efek film itu kan berlaku drastis pada pendakian Semeru. Masak iya sampai menular ke Penanggungan yang notabene gunung paling dekat dari Surabaya. Ahh syudahlah.. Males mikir.

Akibat tingginya angka pendaki tiap weekend itu ternyata membuat Penanggungan rasanya mulai tidak nyaman lagi. Ujung-ujungnya mirip lah dengan nasib Everest saat ini. Makin banyak orang awam yang pengen mendaki. Menjadikan gunung tempat yang sesak dan kotor.

Pengalaman pendakian saya waktu itu juga terasa tidak jauh beda seperti suasana di everest tadi. Jujur saya merasa kecewa. Tentu bukan pada alamnya. Tapi pada oknum pendaki yang nggak punya etika antar sesama pendaki. Kalau soal etika pendaki dengan alamnya sih dari dulu sudah banyak selentingan negatif ya, dan nggak usah kaget. Mulai dari buang sampah sembarangan dan aksi vandalism di pohon, di batu atau bahkan sampe di daun. Itu sih derita si gunung yang paling klasik.

Makanya, saya jadi agak kurang bernafsu menulis sudut pandang yang indah-indah dari gunung. Karena secara nggak langsung bisa jadi propaganda penyebab orang berbondong-bondong datang ke gunung. Dan ujungnya jadi ngerusak.

Kami sampai di puncak bayangan sekitar pukul 23.00 WIB. Dan kondisi sudah seperti pasar malem. Banyak tenda saling berhadapan. Sehingga kami agak bingung menentukan dimana lagi tanah datar untuk mendirikan tenda. Seusai makan, kami berenam memutuskan untuk tidur dan bangun pukul 3 pagi untuk naik ke puncak Pawitra, Penanggungan.

1. Musik Hajatan

Nah, dari situ hal-hal annoying dimulai. Awalnya saya tidak mau menyalahkan pendaki lain, maklum karena suasananya lagi crowded banget di puncak bayangan. Udah berasa seperti rusunawa. Tenda berjejer-jejer, gitar digenjreng, kompor panci baju tergeletak dimana-mana, dialog nggak jelas bercampur baur segala bahasa. Mulai dari obrolan gak penting, curhat colongan, komedi garing, atau yang sekedar menyombongkan alat pendakian, semuanya masuk ke kuping.

Saya yang udah posisi niat banget buat deep sleep karena sudah kecapekan saat itu masih bisa kompromi. Sementara itu, di luar mulai sering terdengar teriakan bernada keluhan.

"Oy ini gunung apa pasar"

"Gunung cap apa ini rame banget"

Walah ternyata bukan saya saja toh yang ngerasa keganggu. Dari jam 12 malem sampe jam 2 pagi saya bener-bener nggak bisa tidur. Parah! ramenya pake banget. Padahal sudah mulai kriyep-kriyep, oknum pendaki yang super resek malah makin berulah. Lagu dangdut koplo yang nggak jelas sama sekali diputar keras banget. Gilaak, Niat banget tuh orang bawa speaker ke gunung, mau Hajatan apa? Saking benci nya ama itu lagu saya sampe inget liriknya. Jadi kalo ada pepatah bilang, makin benci makin cinta itu emang bener. Sampe sekarang musik laknat itu masing seliweran di memori saya.

"MUNARRRROOOOHHH, WEK WEK WEK WEK WEK WEK WEK"

Abis lirik itu disusul nyanyian dari laki-laki bersuara ancur bernada cabul, "Munaroh abang datang sayang"

Teman satu tenda saya pun sampe menegur tuh oknum. Tapi tetep aja musik biadab itu masih mengalun keras. Rupanya posisi oknum itu pas bersebelahan dengan tenda kami. Usai bangun keluar tenda dan bersiap untuk naik ke puncak, secara spontan saya ngomong keras banget dengan tujuan menyindir tuh oknum yang sudah melek.

"Asu, ga iso turu aku gara gara Munaroh"  (anjing, saya ga bisa tidur karena lagu Munaroh).

2 . Ranjau di tengah jalur

Hal annoying lain ternyata tidak hanya itu saja. Yang terjadi saat kami turun dari puncak malah jauh lebih biadab lagi dalam hal etika antar sesama pendaki. Biasanya pendaki yang punya pengetahuan mereka tahu apa itu istilah cathole. Itu lubang yang kita buat untuk eek di gunung. Abis urusan setor selesai langsung ditutup biar ga keinjek.

Entah itu oknum tau apa enggak soal cathole, tapi yang ini Udah bener-bener kelewat batas. Masak ya tega banget tuh oknum naruh ranjau (baca, eek) pas di tengah jalur turun dan Nggak dibikinin cathole. Kalau jauh banget dari jalur turun tapi enggak ditutup saya masih mau maklum. Lah kalau kayak gitu sama aja naruh ranjau biar tank musuh meledak. Untung indra penciuman saya sensitif. Ranjau di depan mata itu nggak jadi terinjak. Siapa pun pelakunya itu bener-bener keterlaluan parah nya.

3. Flying Rock

Dan Yang terakhir ini bisa jadi ulah nya para oknum yang paling super parah. Karena bisa bikin pendaki lain cedera atau bahkan kehilangan nyawa. Asal tahu, antara puncak bayangan menuju puncak Penanggungan jalur pendakiannya mayoritas dipenuhi tanah dengan bebatuan gunung. Namun, tidak semua batu andesit itu kokoh. Kebanyakan rapuh dan sekali salah injak akan meluncur turun di atas tanah yang licin.

Nah sewaktu saya kembali ke puncak bayangan, nyaris saja pendaki di bawah yang sudah duluan turun terbentur batu yang meluncur. Kira kira batunya separuh dari kelapa. Itu akibat ulah oknum pendaki yang bener-bener keblinger tepat di samping kanan saya. Turun dengan cara ngawur. Kayak orang berseluncur. Alhasil batu yang labil berjatuhan ke bawah.

Di bawah, pendaki lain mulai panik menghindar. Tapi si oknum happy happy saja. Ketawa cekikikan sambil teriak teriak katrok. Mirip anak kecil yang haus banget terus jingkrak-jingkrak ketemu tetek emaknya.

Nah, kalau kamu memang mau naik gunung Penanggungan jangan sampe kaget. Hal-hal diatas bakal bisa jadi kamu alami sendiri. Tentunya pada saat pendakian crowded. Nah kalau sudah begitu, salah siapa?

0 komentar: