"Menyedihkan.. Sungguh menyedihkan" Ada suara lewat begitu saja di depan posisi duduk Kaspolan. Buyar sudah lamunannya saat menun...

Sungguh Menyedihkan

"Menyedihkan.. Sungguh menyedihkan"

Ada suara lewat begitu saja di depan posisi duduk Kaspolan. Buyar sudah lamunannya saat menunduk termenung. Rupanya si Noor langsung saja nyelonong. Lagi lagi Tanpa adab yang biasanya orang timur lakukan saat mendatangi seseorang.

"ah kamu ini, datang ndak Pake kula nuwun"

"loh, memangnya kita ini baru kenal. Atau kita ini kenal tapi tidak karib? Kok pake kula nuwun segala. Yang namanya kalau hati sudah dekat, etika jadi nggak penting",  si Noor menyanggah.

"ya sudah lah," balas kaspolan ringan. Tahu betul dia kalau berdebat dengan si Noor bakal jadi gimana. "apa maksud kalimat pengganti kula nuwun mu tadi"

" oh yang soal menyedihkan itu?"

"ya. Ya. Apa? Seberapa penting hingga bisa menggantikan posisi permisi"

"gimana nggak menyedihkan lan, aku ini kok sering banget disambati. ya oleh anak, pria paro baya, lelaki dewasa, menantu, pekerja yang katanya kelas rendah, pedagang kaki lima. Semua yang saya tampung itu kop jiwa nya merasa terasing"

"terasing soal apa? Paling - paling itu hanya kekhawatiran kecengengan jiwa mereka saja", timpal kaspolan.

"saya kok merasa mereka itu kompak. Ada satu penggalan rasa yang sama diantara mereka"

Mereka terasing di lingkungan yang mereka diami selama ini. Mereka dituntut oleh cara pandang materialisme orang-orang di sekitar mereka. Mereka dinilai harus berprestasi yang tolak ukur prestasi itu adalah benda ragawi semata. Atau apa saja yang bisa diukur dengan panca indra yang fana.

Kalau mereka anak sekolahan, mereka dinilai dari nilai mata pelajaran mereka atau bahkan sekedar remeh gengsi dimana mereka bersekolah. Unggulan apa bukan. Favorit atau tidak.

Kalau mereka pegawai, Noor terus saja ngowos, mereka sambat karena mungkin orang tua mereka, mertua mereka, selalu kecewa dengan prestasi kerja mereka. Karena yang namanya prestasi itu adalah seberapa besar gaji mereka.

Dan itu berlaku pada mereka yang setipe. Kalau mereka baru merintis usaha mereka tidak pernah dinilai dari kesungguhan kerja mereka, baik buruk pelayanan mereka pada pelanggan. Bahagia atau tidak jiwa mereka selama berbisnis. Yang orang di lingkaran mereka anggap adalah seberapa besar omzet mereka. Sudah Bisa beli apa, mobil bagus lah. Rumah megah kah?

"Rupanya itu juga berlaku lebih parah, umat Islam kini kok banyak yang punya gejala semakin menyembah berhala"

"mana ada umat islam sekarang menyembah berhala itu. Wong sekarang umat sudah makin alim saja. Hijab sudah sembilan puluh persen. Orang umroh tiap minggu paling tidak sudah satu pesawat"

"kok jauh jauh. Aku Contohkan kamu saja. Cak lan, kamu itu rajin sholat. Bahkan sholat mu selalu kamu usahakan tepat waktu. Tapi kamu bikin sholat mu itu jadi berhala mu. Tujuan mu adalah sholat. Padahal sholat itu hanyalah sarana hanya alat untuk dekat sama Sang Moho Agung. Karena pola pikir sesat mu itu kamu merasa dirimu suci. Merasa lebih baik dari orang yang tidak sholat. Bahkan kamu tinggi hati kalau ada manusia di luar sana yang tidak sholat tepat waktu seperti kamu"

Kaspolan terhenyak usai perkataan si Noor barusan. Setengah tergoncang batinnya mulut nya mulai menyulut suara. "lantas apa yang kamu katakan pada mereka yang terpinggirkan itu Noor?"

Kamu itu,
Tidak dinilai dari berada atau tidak nya dirimu
Elit atau proletar status mu
Jalan kaki atau naik mobil mewah
Rumah sesek atau istana megah
Penghasilan besar atau rendah
Pakaian sederhana atau yang wah

Kamu itu,
Sejatinya dinilai dari apa tiap saat kamu menomorsatukan Allah di kehidupan mu atau tidak?

"kalau kamu menomorsatukan allah, kamu tak akan sempat terkubur oleh materialisme"

0 komentar: