Omongan-omongan lah cak Kaspolan dan si Noor pada suatu sore di depan beranda. Dua orang itu paling nelangsa di kampung. Tak dipercaya sia...

Kecerdasan Penderitaan

Omongan-omongan lah cak Kaspolan dan si Noor pada suatu sore di depan beranda. Dua orang itu paling nelangsa di kampung. Tak dipercaya siapa-siapa. Dianggap aneh dan nyeleneh. Cara berpikir nya menabrak kotak-kotak konservatif. Atau sederhananya, sebut sajalah mereka itu duo gila di kampung sukosepi, Kadipaten Giri Gisik.
Kalau orang kebanyakan kenal IQ, EQ, dan SQ. Si Noor dan cak Kaspolan menyepakati ada semacam Q lain. Yaitu suffering quotient (kecerdasan penderitaan). Duh, Apa pula itu.
"anak-anak sekarang mental tempe, cengeng dan sakit-sakitan" Noor setengah memaki.
Tak jelas siapa yang dimaki. (tapi mungkin mereka berdua ini lagi ngerasani si koes) Yang jelas bukan subjek nya, tapi sistem dan prosedur zaman yang sekarang berkembang. Modernisasi dan takhayul berkembang semakin melemahkan si subjek.
"ya betul, macam kucing rumahan saja. Sudah kepenak hidupnya. Makan minum fasilitas terjamin. Semua dapat yang enak-enak. Akibatnya gopok dan gocik. Jiwa raga nya tidak punya Agni. Tidak Punya geni, tidak punya api yang memancar di sorot matanya" timpal cak Kaspolan
"apa apa minta enak"
"pengennya tidak kepanasan"
"pengennya instan"
"pengennya langsung sukses"
"pengennya cepet kaya"
"pengennya kemana mana pake mobil"
"pengennya rumah ber AC"

"pengennya serba Kenyamanan"
Dua orang putus asa itu saling sahut menyahut. Saling membenarkan. Saling Menguatkan argumen.
"ya ya ya, padahal kebaikan, keluhuran tidak bisa muncul dari keadaan serba enak"
"Betul-betul, apalagi keluasan hati, Ketangguhan jiwa dan raga tidak akan bisa bangkit bila manusia tidak ditempa cobaan, penderitaan"
Kita yang tiap hari makan derita ini, sahut si Noor, sudah menyatakan diri tidak akan kalah oleh penderitaan. Kami bersahabat baik dan bukan saling mengalahkan. Penderitaan buat orang-orang kecil orang orang terpinggirkan buat kami ini setara dengan intellectual quotient, emotional quotient, dan spiritual quotient.
Penderitaan membuahkan kecerdasan bagi dua orang sinting itu. Mereka berpanas-panas bekerja di bawah terik matahari tidak semakin membuat mereka sakit. Malah mereka jadi lebih kebal pada penyakit. Cobaan hidup yang mereka alami tidak membuat mereka berdua cengeng, tapi malah lebih tangguh jiwa nya. Lebih luas hatinya.
"kasian kasian cak orang orang diluar sana" si Noor meratap.
"kasian kenapa? Lah apa mereka kasihan sama kita? Enggak juga kan. Kamu kok repot repot mengasihani mereka"
"ya kasian saja cak. Kasihan masa nggak boleh"
"ya ya. Teruskan"
"kasihan ya cak, pemamaham mereka terhadap penderitaan itu ya hanya sebatas kulit luar penderitaannya saja. Bahkan sampai mereka kalah dengan penderitaan"
"memang kalahnya itu bagaimana toh?"
"jiwa mereka tidak luas, kalau sudah begitu bawaannya tinggal mengeluh dan mengeluh saja. Sambat aye. Dikit dikit sambat"
"haha, betul betul. Kena panas dikit sambat"
"kena hujan dikit sambat"
"uang sedikit sambat"
"dagangan nggak laku sambat"
"naik motor sambat"
"jalanan berlubang sambat"
"hahaha. naik bus ekonomi saja sudah sambat"
"jalan kaki apalagi, tambah sambat"
Aku yang tiba tiba lewat di depan mereka berdua, hendak menyapa eh malah kena seruan nyinyir.
"dasar generasi penuh sambat (GPS). Ya kamu itu, koes!"

0 komentar: