Masjid Kapitan Keling di George Town, Penang.  "Ada bayak masjid di nusantara yang dikelola oleh kalangan minoritas. Seperti Mas...

Ngeluyur Subuh-subuh ke Kapitan Keling Mosque George Town

Masjid Kapitan Keling di George Town, Penang. 

"Ada bayak masjid di nusantara yang dikelola oleh kalangan minoritas. Seperti Masjid Cheng Ho yang dikelola oleh warga Tionghoa muslim. Namun, Di negeri jiran Malaysia, tepatnya di George Town Terdapat Masjid Kapitan Keling. Masjid tertua tersebut dibangun dan dikelola oleh komunitas india muslim"

George Town di Pulau Pinang merupakan ibukota negara bagian Penang, Malaysia. Kota ini terkenal dengan wisata heritage, khususnya bangunan tua. Tidak hanya kuno, arsitektur bangunannya masih terjaga dengan apik. Mulai dari rumah warga, gedung pertokoan, pemerintahan, kuil, dan tempat ibadah. Bentuk bangunannya kini tidak jauh beda pada saat kota itu didirikan di abad ke-18 oleh pedagang dari Inggris, Sir Francis Light.

Tahun 2008, George Town sempat mendapat julukan the World Heritage dari UNESCO. Perhatian kepada bangunan tua memang jadi fokus utama.  Sampai-sampai, pemerintah kota memberikan insentif kepada warganya yang merawat bangunan tua.

Pemerintah kota menetapkan beberapa zona khusus untuk perlakuan bagi bangunan tua. Zona paling inti berwarna hijau. Artinya bangunan apapun yang masuk di wilayah itu tidak boleh diubah sama sekali bentuk dan fungsinya. Di luar zona itu ada zona kuning. Artinya bangunan diperbolehkan untuk diubah.

Kebanyakan bangunan bersejarah penting yang menjadi tetenger alias landmark kota George Town ada di zona hijau. Seperti Fort Cornwellis, Penang Peranakan Mansion, Khoo Kongsi temple. Yang coba saya kunjungi adalah Kapitan Keling Mosque. Masjid ini merupakan masjid tertua yang dibangun oleh warga pendatang dari India pada tahun 1801.


Terletak di Jalan Masjid Kapitan Keling, letaknya tidak jauh dari Eastern and Oriental hotel, tempat saya bermalam. Waktu tempuh hanya sekitar 15 menit berjalan kaki. Memang hotel tersebut berada di jantung kota, sehingga kemana pun terasa dekat.

Hotel dan homestay tua di jalan Love Lane sepulang dari masjid. 

Papan info sejarah. 
Pukul 05.00 pagi di sini, langit masih gelap gulita. Dari Lebuh (jalan kecil) Farquhar saya berjalan kaki. Rutenya melalui Love Lane (lorong/gang), Lebuh Chulia, Lorong Sekchuan, Jalan Buckingham dan Jalan Masjid Kapitan Keling. Uniknya selama berjalan kaki Menyusuri jalan tersebut wisatawan bakal disuguhi informasi lengkap menyertai sejarah bangunan atau jalan. Salah satunya seperti yang saya temukan di jalan masuk ke Love Lane. Papan berwarna biru dalam bahasa Melayu, Inggris dan Tamil mengatakan bahwa area tersebut dulunya pernah menjadi tempat menyembunyikan istri simpanan.

Begitu sampai di Masjid Kapitan Keling, sumur tua dengan diameter sekitar lima meter berada tepat usai gerbang. Di belakangnya terdapat tempat wudhu yang unik. Tinggi kolam untuk wudhu dibuat rendah. Tidak lebih dari lutut orang dewasa.

Kolam wudhu Masjid Kapitan Keling. 
Sumur tua. 
Adzan subuh disini berkumandang pukul 06.00 waktu setempat. Langit masih gelap. Padahal perbedaan waktunya lebih cepat satu jam dari Surabaya. Suara adzan terdengar bercampur dengan jeritan burung gagak. Ya, George town memang kota tua yang jadi habitat gagak liar. Jadi jangan merinding kalau berjalan sendiri di tengah malam. Menyusuri bangunan tua di kanan kiri sambil diselingi beberapa kali jeritan gagak.

Memasuki bangunan masjid, pengalaman menarik terasa. Beberapa sudut masjid kental dengan sentuhan budaya india. Seperti pada ornamen pintu masjid. Lengkungan pintunya tidak hanya polos. Tapi ada lengkungan kecil yang menghiasi sekelilingnya. Bentuk lengkungan itu mirip seperti di Taj Mahal. Lengkungan itu juga banyak terdapat di area dalam masjid. Letaknya di tiap ujung tiang pondasi.

Pilar berhiaskan lengkungan mirip di Taj Mahal. 

Di sudut lain, identitas budaya India pun makin kental. Di papan pengumuman masjid, Banyak tertempel selebaran bertuliskan huruf india. Memasuki waktu sholat, makin terasa seperti ada di India. Barisan shof sholat subuh kala itu didominasi oleh pria-pria  keturunan india. Tubuh tinggi besar, kulit hitam dengan mata yang lebar. Mirip yang ada di film Bollywood. Tapi dandanan mereka waktu sholat mirip dengan kita. Memakai sarung, pèci dan baju koko. Ada beberapa yang pakai baju koko terusan dan surban.

Menara difungsikan sebagai pusat informasi. 
Bacaan dzikir usai solat subuh disini sama persis seperti masjid di tanah air yang berfaham sunni. Saya mencoba berkenalan dengan imam sholat subuh kala itu. Namanya ustadz Abu Hanif. Dia mengatakan masjid ini memang dibangun oleh pendatang dari India. namanya Coudeer Mohudeen. Dia mendirikan masjid tersebut bermula dari tanah wakaf seluas 18 hektar pada tahun 1801. Mohudeen merupakan pimpinan atau captain dari South Indian Community. Dia lebih dikenal dengan Captain Kling. Sehingga nama itu menjadi asal usul penamaan masjid. Kapitan dari kata captain dan keling dari kata kling.

Saat subuh di masjid. 
Tanah wakaf itu selepas kematian Captain Kling pada 1834 luasnya berkurang. Menjadi hanya 8 hektar saja yang dipakai sebagai masjid. Sisanya berubah menjadi jalan, rumah dan pertokoan di sekitar masjid. Saat ini kawasan itu terkenal Sebagai Little India. "Kalau kamu sholat jumat disini khotbah nya Menggunakan bahasa Tamil," ucapnya.

Nasi Kandar Beratur
Kapitan Keling Mosque dan Little India juga terkenal dengan Wisata kuliner. Pas di sebelah pintu masuk masjid yang menghadap jalan masjid kapitan keling ada penjual nasi kandar yang terkenal di George town. Nama kedainya Nasi Kandar Beratur. Kedai itu mulai buka pada jam 10 malam. Kedai ini sudah ada di samping masjid sejak tahun 1940.

Kedai Nasi Kandar Beratur persis di sebelah masjid. 
Beratur sendiri artinya antrean. Memang, nasi kandar disana saking terkenalnya Sampai-sampai pembeli harus antre panjang mengular. Padahal kedai itu hanya sebesar ruko yang luasnya tidak seberapa. Penduduk lokal yang sebelumnya bertemu saya,  Vincent Pek berkata kuliner malam itu jadi jujukan turis yang datang ke penang. "Ada yang bilang kalau makin lama antri maka nasi kandar yang dimakan makin nikmat," kata Vincent yang ayahnya ternyata berasal dari Medan.

Meski subuh, masih ada yang makan. 
Saya sendiri tidak merasakan antre. Saya mencoba nasi kandar beratur sambil menunggu adzan subuh. Memang sudah larut, tapi masih ada puluhan orang yang makan di kedai. Meski tidak ikut antre sampe mengular, nasi kandar disana ternyata memang lezat. Stereotip masakan India yang enek karena bumbu dan rempah yang terlalu tajam ternyata tidak berlaku. Rasa bumbu nasi kandar mirip seperti bumbu rendang coklat di nasi padang. spesialnya, potongan ayam disana disajikan dengan ukuran segede gaban. cocok buat pelancong yang kelaparan di malam hari. Jadi, bakalan kenyang sampai pagi. Jangan lupa cicipi teh india yang rasanya mirip teh tarik. Satu porsi nasi kandar plus teh tarik cuma berharga lima ringgit atau sekitar Rp 15 ribu. Kuz9

2 komentar:

  1. Mas sampean gak kluyuran gak ajak2 >,<
    Skrng udah balik ya mas,,,
    Ayo oleh2 :lol:

    BalasHapus
  2. Wakakak. Lah yaopo ngajak e. Oleh oleh cerita dan foto aye. Wkk

    BalasHapus